/f/113819/602x451/bb46a5b674/bebas-akademik.png)
Mau Dibawa Kemana Kebebasan Akademik Kita?
Leony Sondang Suryani, Peneliti dan Project Manager*
Djokosoetono Research Center, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Barangkali generasi milenial tersenyum membaca judul tulisan ini. Ya, mirip lagu Band Armada yang sempat hits tahun 2009. Tapi ini bukan soal hubungan percintaan yang sedang kita bicarakan. Yang ingin kita tanyakan adalah: ke mana arah kebebasan akademik di negeri ini? Atau lebih dalam lagi, sejauh mana negara menempatkan akademisi dalam percaturan hukum dan kekuasaan? Bisa jadi, pertanyaannya justru ada di sana.
Pasal 8 (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012
Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
Sebuah pasal yang berbunyi indah, menjanjikan ruang aman bagi sivitas akademika untuk menjalankan panggilan hatinya, keilmuannya, dalam bingkai tridharma perguruan tinggi. Bahkan, ayat selanjutnya dalam pasal yang sama menegaskan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan melalui pembelajaran dan/atau penelitian ilmiah, menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa, demi kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Semua itu merupakan tanggung jawab pribadi sivitas akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi.
Namun seperti yang berkali-kali diingatkan oleh Satjipto Rahardjo, hukum tidak selalu bekerja sebagaimana mestinya. Ada jurang lebar antara das sollen (yang dicita-citakan) dan das sein (yang terjadi). Jurang itulah yang kini kembali terbuka lebar ketika dua profesor dari Institut Pertanian Bogor, Prof. Bambang Hero Saharjo dan Prof. Basuki Wasis, digugat secara perdata oleh sebuah perusahaan atas kesaksian mereka di pengadilan dalam kapasitas sebagai saksi ahli.
Ini bukan kali pertama keduanya menghadapi tekanan hukum atas peran akademisnya. Sebelumnya, mereka juga sempat menjadi target gugatan atau laporan pidana karena memberikan keterangan berbasis keahlian ilmiah mereka di ruang persidangan. Padahal, dari sudut pandang hukum acara, posisi saksi ahli sangat jelas dan diakui.
Pasal 1 angka 28 dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah. Keterangan ini diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus terkait hal yang dapat membantu menerangkan suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan. Apakah keterangan tersebut nantinya dipertimbangkan oleh hakim atau tidak, itu sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan. Bahkan sejak tahun 1957, 68 tahun yang lalu, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 213.K/Sip/1955 telah menegaskan bahwa hakim tidak berkewajiban untuk mendengar keterangan ahli, baik dalam perkara pidana maupun perdata.
Lalu, di mana letak kesalahannya jika seseorang yang memiliki keahlian memberikan keterangan berbasis keilmuan di ruang pengadilan? Apa yang membuat aktivitas ilmiah yang dilakukan dalam koridor hukum justru dikriminalisasi atau digugat secara perdata?
Entah itu dilihat dari perspektif hukum acara, dari perlindungan saksi dan korban (UU PSK), dari prinsip-prinsip anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), dari Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), hingga Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, gugatan terhadap para ahli ini lebih pantas disebut sebagai ironi, jika bukan absurditas.
Dan jika kita tarik lebih jauh ke akar-akarnya, selain Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat, ketika berbicara mengenai kebebasan akademik sebagaimana dijamin dalam UU Dikti—maka situasi ini menjadi semacam anekdot tragis: kebebasan akademik dijamin di atas kertas, tetapi tidak dikenali, apalagi dihormati, oleh mereka yang merasa berhak menyeret para akademisi ke meja hijau hanya karena ilmu yang mereka sampaikan tidak menguntungkan pihak tertentu.
Dalam khazanah pemikiran tentang kebebasan akademik, kita perlu kembali kepada prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan untuk konteks Asia Tenggara—Surabaya Principles on Academic Freedom and the Autonomy of Higher Education Institutions (2017). Dokumen ini disusun oleh para akademisi, aktivis, dan pembela HAM dari berbagai negara ASEAN sebagai respons terhadap makin banyaknya tekanan terhadap perguruan tinggi dan dunia keilmuan.
Salah satu prinsip mendasar dalam dokumen tersebut adalah bahwa academic freedom is not a privilege, but a right inherent to the academic profession. Kebebasan akademik tidak sekadar soal kebebasan mengajar, meneliti, dan mempublikasikan hasilnya tanpa intervensi. Ia juga mencakup hak untuk berpartisipasi dalam debat publik, memberikan pandangan keilmuan di luar ruang kelas, dan menyuarakan kritik terhadap kekuasaan—termasuk melalui jalur hukum—tanpa takut pembalasan.
Prinsip ini sejalan dengan standar internasional lainnya, yang menekankan bahwa kebebasan akademik tidak dapat dipisahkan dari otonomi institusi pendidikan tinggi. Artinya, bukan hanya individu akademisi yang harus dilindungi, tetapi juga kampus sebagai institusi harus memiliki otonomi untuk tidak tunduk pada tekanan politik, ekonomi, maupun korporasi.
Kembali pada pertentangan antara das sollen dan das sein—apa guna hukum, setumpuk undang-undang, dan pasal-pasal indah, bila dalam praktiknya justru diabaikan atau dilanggar?
Kasus gugatan terhadap dua profesor IPB seharusnya menjadi peringatan keras, bukan hanya bagi satu pihak, melainkan bagi kita semua.
Bagi sivitas akademika dan institusi pendidikan tinggi, inilah titik balik yang harus membuat kita semakin tajam dan tegas dalam mempertahankan hak kita dalam menjalankan tugas sebagai akademisi, dalam khazanah kebebasan akademik, bertahan dalam situasi yang mengancam fondasi keilmuan itu sendiri. Bagi institusi akademik agar tidak hanya menjadi ruang produksi gelar, tetapi harus menjadi benteng terakhir bagi kebebasan berpikir dan integritas akademik. Bila akademisi diserang dan institusinya diam, maka yang hancur bukan hanya satu individu, melainkan seluruh kredibilitas ilmu pengetahuan itu sendiri.
Bagi negara, untuk berhenti membanggakan regulasi tentang kebebasan akademik jika pada saat yang sama gagal menjamin perlindungan bagi para pelakunya. Negara wajib hadir bukan hanya sebagai pembuat norma, tetapi sebagai penjamin ruang aman bagi mereka yang menjalankan mandat keilmuannya dengan jujur dan bertanggung jawab. Tanpa itu, pasal-pasal indah hanya tinggal utopia.
Dan bagi pihak-pihak yang merasa berhak menggugat atau melaporkan akademisi hanya karena ilmunya tidak berpihak pada kepentingan ekonomi, perlu dipahami bahwa ilmu pengetahuan tidak diciptakan untuk menyenangkan semua orang. Ilmu bukan instrumen legitimasi, apalagi alat promosi. Sudah menjadi tugas sivitas akademika untuk menggali, mengembangkan, dan menyatakan kebenaran ilmiah secara terbuka—meski pahit dan merugikan kepentingan tertentu.
Jika serangan-serangan semacam ini terus terjadi, maka pertanyaannya bukan lagi sekadar soal kebebasan akademik—tetapi soal arah bangsa. Bagaimana mungkin kita membayangkan generasi masa depan mendapat pendidikan yang mendalam, kritis, dan berpihak pada kebenaran, jika para pengajarnya terus diintimidasi karena ilmunya?
Kasus gugatan terhadap dua profesor IPB ini harus menjadi alarm bahwa ada bentuk pembalasan hukum terhadap kepakaran akademik, yang seharusnya dilindungi sebagai bagian dari peran intelektual dalam masyarakat demokratis. Ini menempatkan kita dalam situasi genting di mana akademisi bisa dihukum bukan karena melanggar etika profesi, melainkan karena keilmuannya dianggap mengganggu kekuasaan ekonomi.
Dan selama kebebasan akademik masih dibungkam oleh rasa takut, selama suara ilmuwan masih dibalas dengan gugatan, mungkin kita memang harus terus bertanya:
Mau dibawa ke mana kebebasan akademik kita?