Kado 80 Tahun Kemerdekaan: Ketika Negara Membelenggu Perempuan Lewat Penyangkalan Sejarah Pemerkosaan Massal 1998
Leony Sondang Suryani
Peneliti dan Project Manager, Djokosoetono Research Center
Apa yang kau cari Menbud?
Pertanyaan ini memang terdengar seperti judul film lawas—tapi kali ini, kita tidak sedang bertanya kepada Palupi. Kita bertanya kepada Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, yang dengan penuh keyakinan dan kepala tegak menyampaikan pernyataan berikut secara publik dalam program “Real Talk” IDN pada 10 Juni 2025. Dan karena saya tidak ingin kelak ini pun disangkal, mari kita kutip secara verbatim:
“Sangat penting, saya ikut mendorong sejarah perempuan harus diperkuat….
Pertanyaannya begini, Sejarah perempuan, kalau itu mau menjadi domain kepada isi dari sejarawan, apa yang terjadi? Kita ga pernah tau ada enggak fakta keras? Kalau itu bisa kita bisa berdebat. Nah, ada perkosaan massal, betul enggak ada perkosaan massal? Apa kata siapa tuh? Itu enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? enggak pernah ada. Nah, rumor-rumor seperti itu menurut saya tidak akan menyelesaikan persoalan…”
(Menanggapi pertanyaan mengenai temuan TGPF) “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa memperkuat bangsa, tone-nya harus begitu.”
Entah bagaimana atau untuk alasan apa, bahkan setelah masyarakat mengecam keras pernyataan ini, tak satu pun permintaan maaf baik secara pribadi maupun kelembagaan dilontarkan. Padahal, jika kita mengingat kembali pidato kenegaraan Almarhum Presiden BJ Habibie pada 15 Agustus 1998, di mana pemerintah saat itu menyampaikan permintaan maaf dan mengutuk tindakan kekerasan serta perundungan seksual terhadap perempuan terutama dari etnis Tionghoa, pernyataan hari ini terasa mencoreng muka kita sendiri. Sebagai seorang perempuan, sebagai anak bangsa, rasanya perjuangan kaum perempuan, harapan akan keadilan, dan mimpi akan hidup yang inklusif telah dikhianati oleh negara itu sendiri.
Kado 80 tahun kemerdekaan seperti apakah yang ingin diwujudkan dengan dana 9 Miliar dari APBN itu? “Tone positif” untuk menampilkan pencapaian sebagai bangsa seperti apa yang dimaksud? Pantaskah jargon-jargon ini digaungkan dan menjadi justifikasi setelah kementerian sendiri menyangkal terjadinya pemerkosaan massal yang terjadi pada tahun 1998?
Andaikata negara lupa, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (TGPF) yang sudah dipublikasikan 26 tahun yang lalu seharusnya cukup untuk melawan semua bentuk penyangkalan. Laporan ini bukan rumor, bukan cerita, bukan dongeng yang diwariskan dari mulut ke mulut—tetapi hasil kerja investigatif resmi negara yang melibatkan berbagai unsur lintas lembaga dan tokoh lintas sektor. Tak hanya akademisi dan aktivis HAM, ABRI, Kejagung, berbagai departemen negara, Komnas HAM pun terlibat.
Disusun secara sistematis, laporan TGPF pun mengikuti tahapan metodologi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Mulai dari pengumpulan data dari berbagai sumber, verifikasi, wawancara dengan berbagai pihak, pertemuan konsultatif dengan saksi ahli dan lembaga profesi, kunjungan lapangan, analisis alur peristiwa, hingga penyusunan rekomendasi kelembagaan dan kebijakan. Semua prosedur fact-finding, verifikasi ilmiah, dan dokumentasi testimoni korban telah dilakukan—melibatkan lebih dari 100 orang saksi dan korban dari berbagai kota, serta para pejabat militer dan sipil saat peristiwa berlangsung. Bahkan standar dan protokol yang digunakan pun jelas dan tercantum dalam laporan tersebut. Maka, data yang tidak konklusif apalagi yang dimaksud?
Artinya, mengatakan bahwa pemerkosaan massal 1998, etah itu tentang pemerkosaannya atau unsur “massal”nya sebagai sesuatu yang “tidak pernah ada buktinya” dan menyebutnya sekadar “cerita”, barangkali akarnya bukan pada absennya bukti, melainkan pada keengganan mengakui atau sengaja membungkam kebenaran.
Menanggapi pernyataan Menteri Kebudayaan bahwa "tidak ada bukti" dan bahwa soal "perkosaan massal" hanyalah cerita yang belum diverifikasi, mari kita buka kembali isi laporan TGPF 1998, bukan dari imajinasi, tapi dari dokumen resmi negara. Laporan ini menyatakan bahwa “tidak mudah” tetapi kalimat ini bukan berarti “tidak ada”. Justru sebaliknya: TGPF berhasil memverifikasi keberadaan korban, mengkategorikan jenis kekerasan, dan mengidentifikasi pola-pola kekerasan seksual, termasuk perkosaan bergilir (gang rape), yang terjadi di hadapan orang lain. Total korban yang berhasil diverifikasi pun mencapai puluhan perempuan dari berbagai kota, sebagian besar merupakan perempuan Tionghoa.
Jadi pertanyaannya: apakah ini bukan bentuk pemerkosaan massal? Apakah gang rape yang dilakukan oleh beberapa pelaku secara bergantian, di beberapa kota, pada periode waktu yang sama, tidak cukup untuk disebut sebagai kejahatan massal?
Untuk menjawab itu, kita bisa merujuk pada kerangka konseptual yang sah dalam dunia akademik. Pemerkosaan massal merujuk pada tindakan kekerasan seksual kolektif yang dilakukan oleh banyak pelaku terhadap banyak korban, dan tidak harus memiliki angka absolut yang spektakuler untuk bisa dikategorikan sebagai “massal”. Jennifer L. Green (2004) mendefinisikannya sebagai pola kekerasan seksual terhadap penduduk sipil yang dilakukan oleh agen negara, kelompok politik, atau kelompok etnis, yang dapat diukur dengan parameter kejadian, pelaku, dan korban. Gottschal (2004) menambahkan bahwa eskalasi peristiwa dalam konteks kekacauan politik atau instabilitas sistemik merupakan karakter utama dari kekerasan massal—bukan sekadar jumlah statistik. Dengan demikian, pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 memenuhi seluruh indikator tersebut, baik secara empiris maupun konseptual. Dan dalam kerangka keilmuan, mengakar pada definisi akademik adalah bentuk argumen yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yang justru perlu ditanyakan adalah pernyataan resmi Kemenkebud sendiri: karakter bangsa seperti apa yang ingin dibangun, jika negara justru menegasikan temuan investigasi resminya, meragukan kesaksian korban, dan menghapus jejak kekerasan yang telah terdokumentasi sah selama 26 tahun? Terlebih lagi: kekerasan seksual terhadap perempuan. Apa yang sedang kau cari, Kemenkebud?
Pernyataan yang menyangkal pemerkosaan massal, terlebih jika dilontarkan oleh pejabat publik, bukan sekadar disinformasi—ia adalah bentuk kekerasan itu sendiri. Narasi “sejarah reborn” yang hendak dikembangkan berisiko menjelma menjadi bentuk lain dari apa yang disebut Max Weber sebagai monopoli kekerasan secara sah, dan Johan Galtung sebagai kekerasan struktural: kekerasan yang beroperasi melalui kebijakan, narasi, dan kontrol pengetahuan yang dimiliki negara. Ketika negara menyangkal kekerasan seksual terhadap perempuan, ia sedang menjalankan kekerasan struktural yang paling dalam: menghapus eksistensi korban dari sejarah.
Kekerasan ini tidak berdiri sendiri. Ia menyatu dengan budaya patriarki yang memandang tubuh perempuan sebagai simbol kehormatan kolektif—bukan sebagai individu otonom. Dalam penyangkalan ini, perempuan direduksi menjadi objek yang bisa dikontrol, dibisukan, bahkan dihilangkan dari memori bangsa. Maka, narasi “tone positif” dengan menyangkal pemerkosaan massal 1998 bukanlah jalan menuju bangsa yang kuat, melainkan justru bentuk lain dari kekerasan simbolik negara terhadap perempuan: di mana mereka dikerdilkan menjadi simbol, disingkirkan dari sejarah, dan dilupakan demi citra kolektif yang semu. Karena jika itu yang terjadi, maka perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia bukanlah perayaan kemerdekaan seluruh rakyat, melainkan pengukuhan kembali kekuasaan atas tubuh dan suara perempuan.
Nanti kita bisa bicara lagi tentang pencapaian Kongres Perempuan 1928, tentang partisipasi perempuan dalam diplomasi dan militer, tentang SDGs dan narasi-narasi besar pembangunan yang disebut-sebut oleh Kemenkebud dalam pernyataan klarifikasi isu ini. Tetapi sekarang, mari kita fokus pada masalah yang lebih mendesak—yakni sikap negara yang secara terang-terangan menyangkal kekerasan terhadap perempuan di masa lalu. Sebagaimana Kemenkebud sendiri menyatakan:
“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab kita di masa kini dan masa depan… ruang bersama untuk membangun pembelajaran, empati, dan kekuatan pemersatu.”
Empati dapat dimulai dari berhenti menegasikan sejarah, mengenai apa yang terjadi pada perempuan di masa lalu dan didokumentasikan secara resmi oleh negara. Jangan membelokkan sejarah yang telah disusun melalui proses panjang dan penuh risiko. Negara harus berdiri bersama korban, bukan melawan mereka. Negara harus menghormati pendokumentasian resmi yang sudah dibuat oleh TGPF, memegang teguh komitmen terhadap hak asasi manusia, dan mendukung pemulihan korban secara adil dan bermartabat.
Atas nama perjuangan keadilan bagi perempuan Indonesia—jangan biarkan 80 tahun kemerdekaan ini menjadi simbol pengukuhan kembali kekuasaan atas tubuh dan suara perempuan.