Diskursus

Elegi Hutan Jawa

Waktu

April 23, 2025
08.30-17.00 WIB
Lokasi

Ruang Serba Guna, Lantai Mezzanine, Gedung Science Techno Park UI
Elegi Hutan Jawa

Overview

Diskusi Publik dan Diseminasi Penelitian

Elegi Hutan Jawa: Membongkar Wajah Kolonialisme Baru dalam Energi Biomassa

(Leony Sondang Suryani)

Kolonialisme masih hidup di hutan-hutan Jawa? Kalimat itu bukan sekadar provokasi, melainkan refleksi dari kenyataan yang menjadi ide utama dalam acara publik bertajuk "Elegi Hutan Jawa: Dinamika Perampasan Ruang dalam Pengembangan Kebun Energi". Kegiatan ini merupakan inisiasi dari Koalisi Bioenergi dan diselenggarakan bekerja sama dengan DRC (Djokosoetono Research Center) pada 23–24 April 2025 di Universitas Indonesia.

Acara ini bukan sekadar peluncuran laporan hasil penelitian dan pameran foto semata, melainkan merupakan ruang diseminasi sekaligus panggung kritik terhadap skema transisi energi yang justru berisiko mengulang praktik kolonialisme—dengan Perhutani sebagai aktor utama, dan kebijakan co-firing sebagai dalih hijau.

Dari Transisi Energi ke Perampasan Ruang

Salah satu isu yang terus bergulir adalah perampasan ruang publik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Koalisi Bioenergi, terungkap bahwa pemerintah Indonesia mendorong perluasan energi biomassa sebagai bagian dari agenda transisi energi nasional. Di balik narasi “hijau” ini, tersembunyi skema co-firing—yakni pengoplosan batubara dengan biomassa—yang membuka ruang bagi proyek Hutan Tanaman Energi (HTE). Di Pulau Jawa, Perhutani mengalokasikan 70.000 hektar hutan untuk tanaman energi seperti gamal dan kaliandra. Namun, alih-alih memperluas akses masyarakat terhadap lahan, proyek ini justru memperkuat kontrol negara atas ruang hidup warga desa.

Diskusi publik hari pertama mengupas secara mendalam dua topik utama.
 Pertama, sesi bertajuk besar Kolonialisme Kebun Energi yang dimoderatori oleh Agoeng Wijaya (Jurnalis Tempo). Di sesi ini, Rendi Oman Gara dari Sajogyo Institute membahas soal Hegemoni Politik Kebun Energi dan bagaimana itu menjadi pengulangan atas kisah lama ekstraksi sumber agraria pedesaan. Diskusi kemudian diperdalam dengan pemaparan Bayu Maulana dari Trend Asia mengenai lanskap pengembangan energi biomassa dan persoalannya. Hariati Sinaga membawakan komparasi antara kebun energi biomassa dan pengembangan biofuel di perkebunan sawit dari perspektif gender dan dinamika perburuhan. Suraya Afif dari Universitas Indonesia menutup sesi dengan refleksi sejarah: wajah kolonialisme dalam penguasaan sumber daya hutan di Indonesia dari masa ke masa.

Sesi kedua membahas isu yang tak kalah penting: Rekonfigurasi Hutan Jawa dan Politik Kebijakan Ruang. Diskusi ini dipandu oleh Leony Sondang Suryani (peneliti DRC FH UI), dan menghadirkan narasumber dari Perhutani, IFM, dan akademisi Fakultas Hukum UI. Deden Pramudiana dari IFM membuka sesi dengan mengungkap berbagai temuan dan gap pengawasan dalam pengembangan kebun energi oleh Perhutani. Pemaparan ini kemudian ditanggapi langsung oleh Iir Ulifah dari Perhutani, yang menyampaikan paparan berjudul Kebijakan Perhutani dalam Menata Tata Kelola Hutan Tanaman Energi dan Hutan Jawa.

Selanjutnya, Dessy Eko Prayitno dari Fakultas Hukum UI memperkaya diskusi dengan mengupas tuntas sejarah kebijakan kehutanan kolonial di Indonesia—bagaimana warisan struktur hukum kolonial masih membentuk cara negara memandang dan mengatur hutan hingga hari ini.

Sesi ini menjadi sangat hidup ketika peserta mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. Di antaranya adalah pertanyaan soal arah produksi energi Indonesia yang lebih banyak diarahkan untuk ekspor dan memenuhi kebutuhan negara lain seperti Jepang. Tak hanya itu, diskusi juga menyentuh aspek sosial yang krusial: bagaimana memastikan keterlibatan masyarakat, terutama Masyarakat Hukum Adat, dalam proses pengambilan keputusan? Apakah prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) benar-benar dijalankan secara utuh, atau hanya berhenti sebagai jargon yang bagus di atas kertas?

Hari kedua diskusi publik fokus pada tema Rantai Bisnis Kebun Energi: Peta Aktor dan Kepentingannya, dipandu oleh Sapariah Saturi (Jurnalis Mongabay). Sesi ini membahas temuan-temuan dari PPLH Mangkubumi tentang penyimpangan praktik kebun energi dan proyek co-firing di Jawa Timur; dari Forest Watch Indonesia/FWI tentang rantai pasok biomassa dan ancaman hutan; serta dari Imam Mas’ud (JKPP) yang menyoroti pentingnya pengelolaan ruang berbasis rakyat.

Ketiga sesi diskusi ini pada akhirnya bertemu di satu titik kesadaran: bahwa model dan politik pengelolaan hutan yang diwarisi dari era kolonial Belanda nyaris tak berubah. Hutan masih ditetapkan sebagai zona eksklusif negara, masyarakat tetap dimobilisasi sebagai buruh murah, dan protes masih dibalas kriminalisasi. PR besar masih menanti, baik bagi pemerintah sebagai regulator, maupun bagi Perhutani sebagai BUMN yang menjalankan bisnis kehutanan.

Rangkaian Diskusi Kritis dan Tuntutan Bersama

Selama dua hari, diskusi dibagi dalam tiga sesi utama yang membahas sejarah kolonialisme kehutanan, konflik agraria, hingga peta rantai bisnis biomassa. Diskusi ini ditutup dengan penyampaian Tuntutan Bersama dari Koalisi Bioenergi, yang menjadi suara kolektif masyarakat terdampak dan organisasi masyarakat sipil.

Isi tuntutan tersebut meliputi:

  1. Redistribusi lahan kepada warga dalam kawasan hutan.
    Menolak kebijakan sepihak yang menjadikan lahan garapan warga sebagai “lahan kritis”, dan menuntut pelaksanaan reforma agraria sejati di kawasan hutan untuk mengembalikan hak-hak petani dan komunitas adat.

  2. Evaluasi transisi energi berbasis ekstraktivisme.
    Menolak pendekatan transisi energi yang masih mengandalkan perampasan ruang dan menjadikan desa sebagai zona eksploitasi.

  3. Audit penetapan kawasan hutan.
    Menuntut penghentian klaim sepihak oleh negara atas wilayah yang dihuni masyarakat secara turun-temurun, serta mendesak adanya pengakuan formal terhadap hak tenurial masyarakat.                                                                                   Dokumentasi: DRC FH UI

  4. Penghentian program co-firing biomassa di PLTU.
    Menyebut co-firing sebagai solusi palsu yang tetap membakar batubara dan membuka potensi kerugian negara serta deforestasi besar-besaran.

  5. Cabut militerisasi kawasan hutan.
    Menolak keterlibatan TNI dan Polri dalam pengamanan kawasan hutan karena meningkatkan kekerasan dalam konflik agraria dan membuka celah korupsi serta bisnis gelap kehutanan.

Menolak Kolonialisme Hijau

Dokumentasi: DRC FH UI

Melalui diskusi ini, DRC dan Koalisi Bioenergi mengajak publik untuk meninjau ulang arah transisi energi Indonesia. Apakah benar transisi itu berkeadilan, atau justru memperpanjang penderitaan masyarakat dan krisis ekologis yang diwarisi dari masa penjajahan?

Kehidupan dinamis, masyarakat dinamis—begitu pula hukum. Dalam menghadapi tantangan ini, kita tidak bisa berpijak pada hukum yang beku dan tak peka terhadap realitas sosial. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, hukum harus progresif, tidak statis melainkan dinamis. Pemerintah selaku regulator dalam perumusan kebijakan, dan pelaku usaha dalam menjalankan usaha, harus terbuka pada kritik dan berkomitmen pada perbaikan. Sebaliknya, LSM dan akademisi harus terus berdiri bersama masyarakat untuk mengawasi dan mengkritisi. Karena kritik, meskipun pahit, adalah bentuk kepedulian yang sesungguhnya—demi negara yang lebih maju, lebih peduli terhadap keberlanjutan lingkungan hidup, dan nilai-nilai hak asasi manusia.

Selama ruang diskusi belum sepenuhnya dibungkam, mari terus bersuara. Sampai berjumpa di diskusi-diskusi selanjutnya!